BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Permasalahan
Debat merupakan sesuatu yang tak asing lagi dalam kehidupan dan
debat adalah komunikasi antara dua orang atau lebih untuk menyelesai-kan
permasalahan atau perselisihan yang timbul. Pada umumnya semua perlakuan dan acara dalam
hidup ini perlu mempunyai etika untuk dipegang sebagai perkara dasar dalam
gerakan kita. Etika untuk berdebat perlu diketahui dan dipatuhi supaya tidak terjadi
perselisihan dalam menyelesaikan masalah yang ada. Etika ini perlu kita hormati
agar kita dapat menghormati orang yang kita lawan bicara dan khalayak ramai
yang ada. Tidak kurang pentingnya kita perlu mematuhi etika ini agar orang lain
akan menghormati kita sebagai insan yang profesional, sabar dan rasional.
Debat sering kita lihat di acara-acara
televisi yang di mana tidak sedikit kita jumpai perselisihan yang berujung
dengan perkelahian,
hal tersebut sebenarnya tidak harus terjadi.
Di dalam agama mana pun telah diajarkan pada kita etika dan
adab ketika berdebat yang bertujuan untuk menghindari hal-hal tersebut, maka
dari itu pada karya ilmiah ini saya akan mengangkat sebuah topik tentang debat
yaitu “Adab Berdebat dalam Islam”.
1.2.
Rumusan Masalah
a.
Apa yang di maksud dengan adab dan
debat?
b.
Apa hukum debat dalam pandangan Agama Islam?
c.
Bagaimana cara menghindari pertengkaran
dalam debat?
1.3.
Tujuan
Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian Secara Teoritis
1. Untuk mengetahui dan memahami apa itu adab dalam debat.
2. Untuk
mengetahui dn
memahami hukum perdebatan dalam pandangan agama Islam, dan
3. Untuk mengetahui bagaimana berdebat
yang baik dan benar.
1.3.2.
Tujuan
Penelitian Secara Praktis
Dalam debat,
sering kita temui perselisihan antara kedua pihak yang melangsungkan debat.
Oleh karena itu perlu kita ketahui etika dan adab dalam berdebat dengan tujuan
untuk menghindari terjadinya perselisihan sehingga kedua belah pihak menemui
titik terang tujuan sebenarnya mereka untuk berdebat yaitu menyelesaikan
masalah.
1.4.
Manfaat
Penelitian
1.4.1.
Manfaat
Penelitian Secara Umum
Kita mengetahui
hal apa saja yang dapat kita lakukan agar sewaktu-waktu ketika kita berada
dalam kondisi berdebat, kita dapat menghindari hal-hal yang tidak kita
inginkan, tentunya hal-hal seperti perkelahian dan hal negatif lainnya yang
dapat merugikan kedua belah pihak.
1.4.2.
Manfaat Penelitian
Secara Khusus
Saya dapat
mengetahui hal positif dan negatif dalam hal debat, mana yang dapat
mendatangkan kebaikan untuk saya dan mana yang dapat mendatangkan kerugian
untuk saya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian Adab
Adab
menurut arti bahasa adalah kesopanan, tingkah laku yang pantas, tingkah laku
yang baik, kehalusan budi dan tata susila. Adab juga bisa berarti pengajaran
dan pendidikan yang baik sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya
Allah ‘azawajalla telah mendidikku dengan adab yang baik (dan jadilah
pendidikan adab ku istimewa)” (HR. Ibnu Mas’ud)
Prof.
Dr. Jamaan Nur dalam bukunya “Tasawuf dan Tarekat Naqasyabandiyah Pimpinan
Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya” memberikan pengertian adab dalam
Islam sebagai tata cara yang baik atau etika dalam melaksanakan suatu
pekerjaan, baik ibadat maupun muamalat. Karena itu ulama menggariskan adab-adab
tertentu dalam melakukan suatu pekerjaan atau melakukan kegiatan sesuai dengan
tuntunan al-Qur’an dan al-Hadist. Adab-adab tertentu itu misalnya adalah adab
memberi salam, adab minta izin memasuki sebuah rumah, adab berjabat tangan,
adab hendak tidur, adab bangun tidur, adab duduk, berbaring dan berjalan, adab
bersin dan menguap, adab makan dan minum, adab masuk kakus (WC), adab mandi wudhu’,
adab sebelum dan ketika melakukan shalat, adab imam dan makmum, adab menuju
mesjid, adab Jum’at, adab puasa, adab berkumpul, adab berguru, adab bermursyid,
adab berikhwan, adab berdebat, dan lain sebagainya.
Imam
al-Ghazali mengatakan adab adalah melatih diri secara zahir dan bathin untuk
mencapai kesucian untuk menjadi sufi. Menurut al-Ghazali ada 2 (dua) tingkatan adab :
Adab khidmat, yaitu fana dari memandang ibadatnya dan memandang ibadat
yang diperbuatnya dapat terlaksana semata-mata berkat izin dan anugerah Allah
SWT kepadanya.
Adab Ahli Hadratul Uluhiyah, yaitu adab orang yang sudah dekat
dengan Allah. Adab mereka ini dilakukan sepenuhnya mengikuti adab Rasulullah
SAW lahir dan bathin.
Abu
Nasr As Sarraj At Tusi mengadakan ada tiga tingkatan manusia dalam melaksanakan
adab yaitu :
Adab
dunia. Adab
mereka pada umumnya adalah kemahiran berbicara, menghapal ilmu pengetahuan dan
membuat syair-syair arab.
Adab
Ahli Agama adalah
melatih mental dan anggota, memelihara aturan hukum agama dan meninggalkan
syahwat.
Adab
Ahli Khususiah (Adab
orang sufi Thariqat yang telah mencapai tingkatan tertentu). Adab mereka pada
umumnya adalah membersihkan hati (qalb), memelihara waktu, sedikit saja
menuruti suara hati sendiri, amat beradab ketika meminta, ingat kepada Allah
SWT sepanjang waktu dan selalu berdaya upaya agar dekat kepada Allah SWT (Maqam
Qurb)
Berdasarkan
uraian di atas adab merupakan hal yang sangat pokok di dalam kehidupan
sahari-hari dalam kehidupan di dunia khusunya di dalam tasawuf.
2.2. Pengertian
Debat
2.2.1.
Pengertian Debat Secara Umum
Debat merupakan komunikasi antara dua
orang atau lebih yang di dalamnya ada kelompok pro dan contra yang
bertujuan untuk menyelesai-kan permasalahan atau perselisihan
yang timbul antara kedua belah pihak.
2.2.2.
Pengertian Debat Menurut Ahli
Ø Menurut para
ahli, debat adalah:
a. Menurut Henry Guntur Tarigan
(BERBICARA: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. 2008:92)
Debat adalah
seatu argumen untuk menentukan baik tidaknya suatu usul tertentu yang didukung
oleh satu pihak yang disebut pendukung atau afirmatif, dan ditolak,
disangkal oleh pihak lain yang disebut peyangkal atau negatif.
b. Menurut
Dori Wuwu Hendrikus (RETORIKA: terampil berpidato, berdiskusi, berargumentasi,
bernegosiasi. 2010:120)
Debat adalah
saling adu argumentasi antar pribadi atau antar kelompok manusia, dengan tujuan
mencapai kemenangan untuk satu pihak.
c. Menurut Dispodjojo (Komunikasi
Lisan. 1984 : 48-60)
Debat
adalah suatu proses komunikasi lisan, yang dinyatakan dengan bahasa untuk
mempertahankan pendapat.
d. Menurut Kamdhi ( Diskusi yang
Efektif, 1998)
Debat
adalah suatu pembahasan atau pertukaran pendapat mengenai suatu pokok
masalah.
e. Menurut Hendri Guntur Tarigan
(Retorika 1990:120)
Debat pada hakekatnya adalah saling adu argumentasi antar
pribadi atau antar kelompok manusia, dengan tujuan mencapai kemenangan satu
pihak.
2.3.
Macam-macam Debat
Debat mempunyai beberapa macam, dan para ahli
membagi macam-macam debat sebagi berikut :
1. Dori Wuwur
Hendrikus dalam bukunya Retorika terampil berdiskusi, berpidato, beragumentasi,
bernegosiasi membagi macam debat menjadi dua macam, yaitu:
a.
Debat Inggris
Terbagi menjadi dua macam yaitu debat tertutup maksudnya
setiap orang hanya berbicara satu kali, oleh karena itu pembicara harus
menyiapkan diri dan menyusun jalan pikirannya secara cermat. Debat yang
selanjutnya adalah debat terbuka maksudnya orang dapat berbicara lebih dari
satu kali. Sesudah semua peserta berbicara, kedua pembicara pertama dari
masing-masing kelompok menyampaikan kata penutup.
b.
Debat Amerika
Debat ini dilakukan oleh dua regu yang berhadapan, tapi
masing-masing regu menyiapkan tema melalui pengumpulan bahan sevara telitidan
penyusunan argumentasi yang cermat. Para anggota anggota debat ini adalah orang-orang
ynag terlatih dalam seni berbicara, semua berdebat didepan sekelompok Juri dan
publik umum.
2.
Henry Guntur Tarigan dalam bukunya
Berbicara sebagai suatu keterampilan berbahasa membagi macam diskusi sebagai
berikut:
a.
Debat Parlementer atau Majelis ( Assembly
or Parlementary Debating )
Maksud dan tujuan Debat Majelis atau Parlementer adalah
untuk memberi dan menambahi dukungan bagi suatu Undang-Undang tertentu dan
semua anggota yang indin menyatakan pandangan dan pendapatnyapun berbicara
mendukung atau menentang usul tersebut setelah mendapat ijin dari Majelis.
b.
Debat Pemeriksaan Ulangan untuk
Mengetahui Kebenaran Pemeriksaan Terdahulu ( Cross-Exemanation Debating )
Maksud dan tujuan perdebatan ini ialah mengajukan
serangkaian pertanyaan yang satu sama lain erat berhubungan, yang menyebabkan
para individu yang ditanya menunjang posisi yang hendak ditegakkan dan
diperkokoh sang penanya.
c.
Debat Formal, Konvensional atau Debat
Pendidikan ( Formal, Conventional, or educational Debating ).
Tujuan debat formal adalah memberi kesempatan bagi dua
tim pembicara untuk mengemukakan kepada para pendengar sejumlah argumen yang
menunjang atau membantah suatu usul.
3. Dispodjojo
dalam bukunya Komunikasi Lisan ( 1984 : 48-60 ), macam debat
berdasarkan
bentuknya dibedakan atas.
a.
Debat Tradisional
Debat bentuk ini banyak dilakukan diberbagai tempat
misalnya di dalam masyarakat atau suatu kelompok terdapat suatu permasalahan
yang dipandang perlu dibicarakan secara umum dan terbuka agar masyarakat dapat
memahaminya dan dapat menentukan pendiriannya terhadap masalah tersebut.
a.
Debat Berseling
Debat berseling disebut juga The
Cross-Examination Debate atau disebut juga The Oregeon Plan of
Debate. Pelaksanaan debat bentuk ini berbeda dengan Debat
Tradisional, sebab pada Debat Berseling setelah setiap pembicara dari kelompok
pembicara selesai berbicara, anggota dari kelompok lawan langsung diberi
kesempatan mengajukan pertanyaan terhadap uraian yang baru saja diutarakan oleh
lawan bicara
c.. Debat Langsung
Debat Langsung ini disebut juga dengan istilah The
Direct Clash Debate. Bentuk ini mempunyai dua ciri khusus :
1.
Kedua kelompok yang akan berdebat
setelah mengutarakan pandangannya mengenai judul debat menentukan
masalah-masalah apa saja yang perlu dibicarakan berhubungan dengan judul debat
itu, bagaimana urutan masalah yang akan diperdebatkan.
2. Dalam debat itu
Moderator menentukan penilaiannya kelompok mana yang menang dalam
memperdebatkan masalah yang telah mereka setujui, setiap selesai memperdebatkan
tiap masalah.
d. Debat
Kelompok Terpisah
Debat dalam bentuk ini juga disebut The Split
Team Debate, dilakukan untuk perdebatan antara kelompok satu dengan
kelompok yang lain, boleh juga antara sekolah, Fakultas, Universitas dengan
sekolah, Fakultas atau Universitas yang lain, tetapi dalam pelaksanaan debat
kelompok itu dipisah-pisahkan. Artinya semua anggota dari kelompok mana saja
yang menyetujui gagasan yang terumuskan dalam judul debat sama-sama membentuk
satu kelompok yang dinamai Kelompok Pendukung, dan siapa saja yang tidak
menyetujui gagasan yang terumuskan dalam judul debat itu terkumpul menjadi satu
dan membentuk Kelompok Penyanggah.
e. Debat
dengan Menjegal
Debat ini juga disebut dengan The Heckling Debate.
Disebut demikian karena setiap pembicara sewaktu mengutarakan pendapatnya dapat
dipotong dengan pertanyaan oleh kelompok lawan, setelah melampaui batas waktu
bicara minimal yang ditentukan. Mereka yang berdebat juga terdiri atas dua
kelompok: Kelompok Pendukung dan Kelompok Penyanggah.
f. Debat
Pemecahan Masalah
Debat macam ini disebut juga dengan
nama The Problem Soulving Debate. Perbedaan yang segera tampak pada
debat semacam ini adalah kelompok yang berdebat tidak dibedakan dengan Kelompok
Pendukung dan Kelompok Penyanggah. Tetapi kelompok-kelompok itu dibedakan
dengan nama mungkin kelompok satu atau kelompok dua. Debat macam ini tidak
ditemukan preposisi , ialah suatu pernyataan yang harus
dipertahankan atau diserang tetapi hanya terdapat suatu masalah yang tersusun,
dalam bentuk kalimat tanya.
2.4. Hukum
Debat Dalam Islam
Nabi
Muhammad S.A.W bersabda; “Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi
orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan
aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta
meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian
teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud dalam
Kitab al-Adab, hadits no 4167. Dihasankan oleh al-Albani dalam as-Shahihah
[273] as-Syamilah).
Nabi
Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya: “Tinggalkanlah mira’
(jidal,berdebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit.
Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.”
(Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897).
Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhumaa “Cukuplah engkau sebagai orang zhalim bila engkau
selalu mendebat. Dan cukuplah dosamu jika kamu selalu menentang, dan cukuplah
dosamu bila kamu selalu berbicara dengan selain dzikir kepada Allah.” (al-Fakihi
dalam Akhbar Makkah)
Muslim
Ibn Yasar rahimahullah “Jauhilah perdebatan, karena ia adalah saat bodohnya
seorang alim, di dalamnya setan menginginkan ketergelincirannya.” (Ibnu
Baththah, al- Ibanah al-Kubra; Darimi: 404).
Ayat-ayat
dan hadits-hadits yang disebutkan di atas secara tegas melarang jidal dan
perdebatan kecuali dengan syarat sebagai berikut :
1. Ikhlas
guna meninggikan kalimat Allah, bukan dengan niat untuk menjadi tenar.
2. Orang
yang berdebat harus mapan keilmuannya dalam masalah yang dia perdebatkan. Jika
dia orang yang jahil atau ilmunya masih setengah- setengah maka diharamkan
atasnya.
3. Dia
yakin -atau dugaan besar- dia bisa menang. Jika dia tidak yakin bisa menang
maka dia wajib meninggalkan perdebatan itu.
4. Ada
kemungkinan pihak lawan jika dia kalah maka dia akan kembali kepada kebenaran.
Jika pihak lawan diketahui sebagai orang yang keras kepala dan tidak akan
bertaubat walaupun kalah maka tidak boleh berdebat dengannya.
5. Jika
dia tidak berdebat maka kebenaran akan tertutupi dan kebatilan yang akan
menyebar.
6. Ada
maslahat (kebaikan) darinya, baik yang kembalinya kepada pihak lawan dengan dia
bertaubat maupun yang kembalinya kepada masyarakat dengan mereka menjauhi pihak
lawan tersebut.
BAB
III
PEMBAHASAN
Dalam berdebat, Kita sebagai ummat
beragama tentunya tidak boleh lepas dari etika dan adab yang telah ditentukan
oleh Allah SWT karena jika kita tidak memperhatikan etika dan adab tersebut
maka celakalah kita karena sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa jika
berdebat tanpa adab dan etika maka hal itu akan menjadi tercela di mata Allah
SWT.
Adapun adab berdebat sebagai berikut :
1.
Mengedepankan ketakwaan kepada Allah, bermaksud taqarrub kepada-Nya, dan
mencari ridha-Nya dengan menjalankan perintah-Nya
2. Harus
diniatkan untuk memastikan kebenaran sebagai kebenaran dan membatilkan yang
batil. Bukan karena ingin mengalahkan, memaksa, dan menang dari lawan.
3. Tidak
dimaksudkan untuk mencari kebanggaan, kedudukan, meraih dukungan, berselisih,
dan ingin dilihat.
4. Harus
diniatkan untuk memberikan nasihat kepada Allah, agama-Nya, dan kepada lawan
debatnya. Karena agama adalah nasihat
5. Harus
diawali dengan memuji dan bersyukur kepada Allah dan membaca shalawat kepada
Rasul-Nya.
6. Harus
memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar diberi taufik terhadap perkara
yang diridhai-Nya.
7. Harus
berdebat dengan metode yang baik dan dengan pandangan dan kondisi yang baik.
8. Harus
sepakat dengan lawan debatnya terhadap dasar yang menjadi rujukan keduanya.
9. Orang
kafir tidak boleh didebat dalam perkara cabang syariat. Sebab, ia tidak beriman
kepada perkara pokok syariah
10. Tidak
mengeraskan suaranya kecuali sebatas untuk bisa didengar oleh orang yang ada
disekitarnya.
11. Tidak
boleh merendahkan lawan diskusi dan meremehkan persoalannya.
12. Harus
bersabar atas penyimpangan lawan diskusi, bersikap sabar, dan memaafkan
kesalahannya, kecuali orang itu memang pandir.
13. Harus
menjauhi al-hiddah dan al-dhajjar.
14. Apabila
berdebat dengan orang yang lebih banyak pengetahuannya maka janganlah
mengatakan, “Engkau salah,” atau, “Perkataan anda keliru,” melainkan harus
mengatakan,“Bagaimana pendapat anda jika ada orang yang mengatakan,” atau, “Ada
orang yang mendebat, lalu berkata, ‘…’” Atau membantah dengan menggunakan
redaksi orang yang meminta petunjuk, seperti berkata, “Bukankah yang benar itu
pernyataan demikian?
15. Harus
berusaha memikirkan dan memahami perkara yang disampaikan oleh lawan diskusi
agar bisa membantahnya.
16. Hendaknya
menghadapkan wajahnya kepada lawan diskusi, dan tidak berpaling kepada
orang-orang yang hadir di forum diskusi karena meremehkan lawan diskusinya.
17. Tidak
boleh berdebat dengan merasa hebat dan takjub terhadap pendapatnya. Sebab,
orang yang ujub tidak akan menerima pendapat dari orang lain.
18. Tidak
boleh berdebat di forum-forum yang ditakutkan, seperti berdiskusi di tempat
terbuka dan di forum-forum umum
19. Tidak
boleh berdebat dengan orang yang tidak disukai. Baik kebencian ini berasal dari
dirinya atau datang dari lawannya.
20. Tidak
boleh bermaksud ingin mengalahkan lawan diskusi dalam forum.
21. Tidak
berpanjang lebar dalam pembicaraan, khususnya pada perkara-perkara yang sudah
diketahui lawan diskusi.
22. Tidak
boleh berdiskusi dengan orang yang meremehkan ilmu dan ahlinya, atau di hadapan
orang-orang pandir yang meremehkan diskusi dan orang-orang yang sedang
berdiskusi.
23. Tidak
boleh merasa rendah untuk menerima kebenaran ketika kebenaran itu tampak pada
lisan lawannya.
24. Tidak
boleh mengacaukan jawaban, yakni dengan memberikan jawaban yang tidak sesuai
dengan pertanyaan.
25. Tidak
mengingkari perkara-perkara penting sehingga menjadi penentangnya.
26. Tidak
mengucapkan kalimat yang global, kemudian setelah itu membantahnya dalam hal
yang rinci.
27. Tidak
menghindarkan diri dari membuang argumentasinya dalam setiap masalah yang cocok
dengannya.
Itulah
kurang lebih etika yang harus kita ketahui jika ingin perdebatan kita tetap di
jalan yang diridhoi Allah SWT sehingga apa yang kita lakukan tidak sia-sia dan
menjadi bomerang untuk kita sendiri.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
Dari paparan diatas
dapat kita ambil simpulan etika berbicara dalam sebuah perdebatan sangat lah penting sehingga kita dijauhkan dari hal-hal yang
tidak kita inginkan seperti pertengkaran dan perkelahian.
Selain menghindari kita dari
perkelahian, dengan menjaga etika berbicara kita di saat berdebat, kita juga
akan mendapat imbalan yang manis dari Allah SWT. Namun jika sebaliknya, maka
tercelalah kita di mata Allah SWT.
4.2. Saran
Kita selaku
ummat yang beragama, hendaknya kita tetap memperhatikan etika berbicara kita,
khususnya dalam sebuah perdebatan.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Henry Guntur Tarigan
(BERBICARA: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. 2008:92)
·
Dori Wuwu Hendrikus
(RETORIKA: terampil berpidato, berdiskusi, berargumentasi, bernegosiasi.
2010:120)
·
(Komunikasi
Lisan. 1984 : 48-60)
·
Kamdhi ( Diskusi yang
Efektif, 1998)
·
Hendri
Guntur Tarigan (Retorika 1990:120)
·
No comments:
Post a Comment