TUGAS AKHIR MATA KULIAH SOSIOLOGI SASTRA
“SOSIOLOGI SASTRA DAN TEORI SOSIOLOGI”
TUGAS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat dalam Menyelesaikan
Studi Sosiologi Sastra pada Program
Studi
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia
dan Daerah
Oleh
Kemas Omi Andrian
NIM. E1C013013
UNIVERSITAS MATARAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA,
SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
2015
- Definisi sosiologi sastra
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 855). Sosiologi sastra merupakan
pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra
karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang
dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik
dan soaialnya, kondisi ekonimi serta khalayak yang ditujunya.
Sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir
daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi lahir pada saat-saat terakhir
perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena sosiologi didasarkan pada
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya
Camte berkata bahwa sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak pada
spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat dan hasil- hasil observasi
tersebut harus disusun secara sistematis dan motodologis (Suekanto, 1982: 4).
Sastra
dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu
kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat
zaman itu. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat pula (Luxenburg,
Bal, dan Willem G. W. terjemahan Dick Hartoko. 1084: 23 ).
Faktor –
faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu tidak ditinjau. Penelitian
ini menfokuskan pada kedudukan pengarang dalam masyarakat, pembaca, penerbitan
dan seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra
empiris yang tidak dipelajari, yang tidak menggunakan pendekatan ilmu sastra.
Hal-hal
yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan dengan jelas, tetapi diteliti
dengan metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat
mempergunakan hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin meniti persepsi para
pembaca.
Hubungan
antara (aspek-aspek ) teks sastra dan susunan masyarakat sejauh mana
system masyarakat serta jaringan sosial dan karyanya, melainkan juga menilai
pandangan pengarang.
Pendekatan
sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara satra dan
masyarakat, literature is an exspreesion of society, artinya
sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Maksudnya masyarakat mau tidak mau
harus mencerminkan dan mengespresikan hidup ( Wellek and Werren, 1990:
110 ).
Hubungan
yang nyata antara sastra dan masyarakat oleh Wellek dan Werren dapat diteliti
melalui:
1. Sosiologi
Pengarang
Menyangkut
masalah pengarang sebagai penghasil Karya satra. Mempermasalahkan status
sosial, ideologi sosial pengarang, dan ketertiban pengarang di luar karya
sastra.
2. Sosiologi
Karya Sastra
Menyangkut
eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra, tujuan, serta
hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri, dan yang berkaitan
masalah-masalah sosial.
3. Sosiologi
Pembaca
Mempermasalahkan
pembaca dan pengaruh sosial karya tersebut, yakni sejauh mana dampak sosial
sastra bagi masyarakat pembacanya ( Wellek dan Werren, 1990: 111 ).
Beberapa
pengertian dan pendapat di atas menyimpulkan bahwa pendekatan sosiologi sastra
adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan tidak meninggalkan segi-segi
masyarakat, termasuk latar belakang kehidupan pengarang dan pembaca karya
sastra.
Karya
sastra kita kenal sebagai karya imajinasi yang lahir bukan atas kekososngan
jiwa namun juga atas realitas yang terjadi di sekeliling penarang. Hal ini
tentu tidak lepas dari unsure yang membangun karya sastra tersebut yang
meliputi unur intrinsik (unsure yang membangun karya sastra dari dalam dan
unsure ekstrinsik (unsure yang membangun karya sastra dari luar). Salah satu
contoh kajian sktrinsik karya sastra adalag konflik sosial yang hal tersebut
tercakup dalam kajian sosiologi sastra.
Sosiologi
sastra merupakan kajian ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat ,
mengenai lembaga dan proses sosial . Sosiologi mengkaji struktur sosial dan
proses sosial termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial yang mempelajari
lembaga sosial. agama, ekonomi, politik dan sebagainya secara bersamaan dan
membentuk struktur sosial guna memperoleh gambaran tentang cara-cara manusia
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatan dan
kebudayaan. Sastra sebagaimana sosiologi berurusan dengan manusia ; karena
keberadaannya dalam masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat
itu sendiri. Sastra sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai
mediumnya karena bahasa merupakan wujud dari ungkapan sosial yang menampilkan
gambaran kehidupan.
Menurut
Wolf terjemahan Faruk mengatakan, “Sosiologi kesenian dan kesusastraan
merupakan suatu disiplin ilmu yang tanpa bentuk; tidak terdefinisikan dengan
baik , terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori
yang agak lebih general; yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal
bahwa semuanya berurusan dengan antara seni dan kesusasteraan dengan masyarakat
( 199 : 3 ).
- Teori Sosiologi Emile Dhurkheim Marx
BIOGRAFI EMILE DURKHEIM
Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis 15 April
1858. Ia keturunan pendeta Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi pendeta
(rabbi). Tetapi, ketika berumur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta. Sejak itu
perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademis ketimbang teologis
(Mestrovic, 1988). Ia bukan hanya kecewa terhadap pendidikan agama, tetapi juga
pendidikan masalah kesusastraan dan estetika. Ia juga mendalami metodologi
ilmiah dan prinsip moral yang diperlukan untuk menuntun kehidupan sosial. Ia
menolak karir tradisional dalam filsafat dan berupaya mendapatkan pendidikan
ilmiah yang dapat disumbangkan untuk pedoman moral masyarakat. Meski kita
tertarik pada sosiologi ilmiah tetapi waktu itu belum ada bidang studi
sosiologi sehingga antara 1882-1887 ia mengajar filsafat di sejumlah sekolah di
Paris. Hasratnya terhadap ilmu makin besar ketika dalam perjalanannya ke Jerman
ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt
(Durkheim, 1887/1993). Beberapa tahun sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim
menerbitkan sejumlah buku diantaranya adalah tentang pengalamannya selama di
Jerman (R. Jones, 1994). Penerbitan buku itu membantu Durkheim mendapatkan
jabatan di Jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun 1887. DI sinilah
Durkheim pertama kali memberikan kuliah ilmu sosial di Universitas Perancis.
Ini adalah sebuah prestasi istimewa karena hanya berjarak satu dekade
sebelumnya kehebohan meledak di Universitas Perancis karena nama Auguste Comte
muncul dalam disertasi seorang mahasiswa. Tanggung jawab utama Durkheim adalah
mengajarkan pedagogik di sekolah pengajar dan kuliahnya yang terpenting adalah
di bidang pendidikan moral. Tujuan instruksional umum mata kuliahnya adalah
akan diteruskan kepada anak-anak muda dalam rangka membantu menanggulangi
kemerosotan moral yang dilihatnya terjadi di tengah masyarakat Perancis.
Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh serentetan kesuksesan pribadi. Tahun 1893
ia menerbitkan tesis doktornya, The Devision of Labor in Societydalam
bahasa Perancis dan tesisnya tentang Montesquieu dalam bahasa Latin (W. Miller,
1993). Buku metodologi utamanya, The Rules of Sociological Method,
terbit tahun 1895 diikuti (tahun 1897) oleh hasil penelitian empiris bukunya
itu dalam studi tentang bunuh diri. Sekitar tahun 1896 ia menjadi profesor
penuh di Universitas Bordeaux. Tahun 1902 ia mendapat kehormatan mengajar di
Universitas di Perancis yang terkenal, Sorbonne, dan tahun 1906 ia menjadi
profesor ilmu sangat terkenal lainnya, The Elementary Forins of Religious Life,
diterbitkan pada tahun 1912. Kini Durkheim sering dianggap menganut pemikiran
politik konservatif dan pengaruhnya dalam kajian sosiologi jelas bersifat konservatif
pula. Tetapi dimasa hidupnya ia dianggap berpikiran liberal dan ini ditunjukkan
oleh peran publik aktif yang dimainkannya dalam membela Alfred Drewfus, seorang
kapten tentara Yahudi yang dijatuhi hukuman mati karena penghianatan yang oleh
banyak orang dirasakan bermotif anti-yahudi (Farrel, 1997). Durkheim merasa
sangat terluka oleh kasus Dreyfus itu, terutama oleh pandangan anti-Yahudi yang
melatarbelakangi pengadilannya. Namun Durkheim tidak mengaitkan pandangan
anti-Yahudi ini dengan rasialisme di kalangan rakyat Perancis. Secara luas ia
melihatnya sebagai gejala penyakit moral yang dihadapi masyarakat Perancis
sebagai keseluruhan (Bimbaum dan Todd, 1995). Ia berkata : Bila masyarakat
mengalami penderitaan maka perlu menemukan seorang yang dapat dianggap
bertanggung jawab atas penderitaannya itu. Orang yang dapat dijadikan sebagai
sasaran pembalasan dendam atas kemalangannya itu, dan orang yang menentang
pendapat umum yang diskriminatif, biasanya ditunjuk sebagai kambing hitam yang
akan dijadikan korban. Yang meyakinkan saya dalam penafsiran ini adalah
cara-cara masyarakat menyambut hasil pengadilan Dreyfus 1894. keriangan meluap
di jalan raya. Rakyat merayakan kemenangan atas apa yang telah dianggap
sebagai penyebab penderitaan umum. Sekurang-kurangnya mereka tahu siapa yang
harus disalahkan atas kesulitan ekonomi dan kebejatan moral yang terjadi dalam
masyarakat mereka; kesusahan itu berasal dari Yahudi. Melalui fakta ini juga
segala sesuatu telah dilihat menjadi bertambah baik dan rakyat merasa terhibur
(Lukes, 1972:345). Perhatian Durkheim terhadap perkara Dreyfus berasal dari
perhatiannya yang mendalam seumur hidupnya terhadap moralitas modern. Menurut
Durkheim, jawaban atas perkara Dreyfus dan krisis moral seperti itu terletak di
akhir kekacauan moral dalam masyarakat. Karena perbaikan moral itu tak dapat
dilakukan secara cepat dan mudah, Durkheim menyarankan tindakan yang lebih
khusus, seperti menindak tegas orang yang mengorbankan rasa benci terhadap
orang lain dan pemerintah harus berupaya menunjukkan kepada publik bahwa
menyebarkan rasa kebendaan itu adalah perbuatan menyesatkan dan terkutuk. Ia
mendesak rakyat agar “mempunyai keberanian untuk secara lantang menyatakan apa
yang mereka pikirkan dan bersatu untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan
menentang kegilaan publik (Lukas, 1972:347).
Tetapi minat Durkheim terhadap sosialisme juga
dijadikan bukti bahwa ia menentang pemikiran yang menganggapnya seorang
konservatif, meski jenis pemikiran sosialismenya sangat berbeda dengan
pemikiran Marx dan pengikutnya. Durkheim sebenarnya menamakan Marxisme sebagai
“seperangkat hipotesis yang dapat dibantah dan ketinggalan zaman” (Lukes,
1972:323). Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan gerakan yang diarahkan
pada pembaharuan moral masyarakat melalui moralitas ilmiah dan ia tak tertarik
pada metode politik jangka pendek atau pada aspek ekonomi dari sosialisme. Ia
tak melihat proletariat sebagai penyelamat masyarakat dan ia sangat menentang
agitasi atau tindak kekerasan. Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan sebuah
sistem dimana didalamnya prinsip moral ditemukan melalui studi sosiologi ilmiah
di tempat prinsip moral itu diterapkan. Durkheim berpengaruh besar dalam
pembangunan sosiologi, tetapi pengaruhnya tak hanya terbatas di bidang
sosiologi saja. Sebagian besar pengaruhnya terhadap bidang lain tersalur
melalui jurnal L’annee Sociologique yang didirikannya tahun
1898. Sebuah lingkaran intelektual muncul sekeliling jurnal itu dan Durkheim
berada dipusatnya. Melalui jurnal itu, Durkheim dan gagasannya mempengaruhi
berbagai bidang seperti antropologi, sejarah, bahasa dan psikologi yang agak
ironis, mengingat serangannya terhadap bidang psikologi. Durkheim meninggal
pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis tersohor.
Tetapi, karya Durkheim mulai memengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun
sesudah kematiannya, yakni setelah terbitnya The Structure of Sosial
Action (1973) karya Talcott Parsons.
2. APA
YANG DIMAKSUD FAKTA SOSIAL
Adalah setiap cara bertindak yang umumnya terdapat
dalam suatu masyarakat tertentu yang yang memiliki eksistensinya sendiri
terlepas dari manifestasi individu. Keharusan dalam mengikuti adat istiadat,
sopan santun, dan tata cara penghormatan yang lazim dilakukan sebagai seorang
anggota masyarakat merupakan suatu hubungan antar individu dengan individu lain
dalam suatu masyarakat. Berbagai tindakan individu dalam melakukan hubungan
dengan anggota masyarakat lain yang dipedomani oleh norma-norma dan adat
istiadat seseorang sehingga ia melakukan hubungan-hubungan terpola dengan
anggota masyarakat lain tersebut dinamakan fakta sosial.
Fakta sosial yang dimaksud di atas merupakan
salah satu konsep dari sosiologi; konsep dasar yang berhubungan dengan
keberadaan individu di masyarakat. Memahami fakta sosial dapat membantu
memberikan penjelasan mengenai latar belakang peranan agama dalam masyarakat
yang menjadi acuan norma sosial bagi individu untuk melakukan berbagai
tindakan.
Istilah fakta sosial pertama kali diperkenalkan
oleh seorang ahli sosiologi sosiolog Perancis
Émile Durkheim pada
abad ke-19 dan banyak mempengaruhi analisa Durkheim (dan para pengikutnya)
ketika melakukan penelitian terkait masyarakat, antara lain
struktur
sosial,
norma
kebudayaan, dan
nilai sosial yang
dimasukan dan dipaksakan kepada individu. Menurut Durkheim fakta sosial adalah
seluruh cara bertindak,baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu
sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial
adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat
yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manivestasi individual.
Tujuan Durkheim adalah agar sosiologi memiliki dasar
positivisme yang
kuat, sebagai
ilmu di
antara ilmu yang lain. Ia berpendapat bahwa setiap ilmu tertentu harus memiliki
subyek pembahasan yang unik dan berbeda dengan ilmu lain, namun harus dapat
diteliti secara
empiris.
Oleh karena itu, Durkheim menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi haruslah
berupa studi atas fakta sosial.
Fakta sosial dijabarkan dalam beberapa gejala
sosial yang abstrak, misalnya hukum, adat kebiasan, norma, bahasa, agama, dan
tatanan kehidupan lainnya yang memiliki kekuasaan tertentu untuk memaksa bahwa
kekuasaan itu terwujud dalam kehidupan masyarakat di luar kemampuan individu
sehingga individu menjadi tidak Nampak. Yang dominan dalam hal ini adalah
masyarakat.
Fakta sosial berangkat dari asumsi umum bahwa
gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya
yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik
individu lainnya. Lebih lagi, karena gejala sosial merupakan fakta riil, maka
gejala-gejala itu dapat dipelajari dengan metode empiris, yang memungkinkan
satu ilmu tentang masyarakat dapat dikembangkan.
Sebagai suatu gejala sosial, fakta sosial berbeda
dengan gejala individual. Sebagai gejala sosial, ia mempunyai tiga
karakteristik utama. Pertama,
gejala sosial bersifat eksternal. Artinya, fakta sosial merupakan cara
bertindak, berpikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut dilihat
sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran individu dantidak bisa didefinisikan
atau diciptakan oleh individu.
Kedua,
fakta sosial memaksa individu. Seorang individu dipaksa, dibimbing,
diyakinkan, didorong, atau dipengaruhi oleh pelbagai fakta sosial dalam
lingkungan masyarakat. Artinya, fakta sosial mempunyai kekuatan untuk memaksa
individu untuk melepaskan kemauannya sendiri sehingga eksistensi kemauannya
terlingkupi oleh semua fakta sosial. Seperti yang Durkheim katakan : “Tipe
– tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya
mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu titu sendiri”. Ini tidak
berarti bahwa individu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang
negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk berperilaku yang
bertentangan dengan kemauannya.
Ketiga,
fakta bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat. Dengan
kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama, bukan sifat individu
perorangan, dan juga bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta
individu. Fakta sosial benar – benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya
terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
3. JENIS – JENIS FAKTA SOSIAL
Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
1. Dalam
bentuk material, artinya mudah dipahami karena dapat diamati, disimak,
ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah
bagian dari dunia nyata (external world), contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam
bentuk non material, yaitu merupakan fenomena yang bersifat inter subjektif
yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia, contohnya egoisme,
altruisme dan opini. Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nonmaterial memiliki
batasan tertenti, ialah individu. Akan tetapi Durkheim yakin bahwa ketika
seseorang mulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi
hukumnya sendiri. Menurut Durkheim, hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa
teraktualisasi melalui manusia dan ia juga mengatakan bahwa masyarakat bukan
hanya semata-mata kumpulan individu saja walaupun faktanya masyarakat memang
terdiri dari individu-individu, namun dia hanya bisa dipahami dengan
mempelajari interaksi dan bukannya dengan mempelajari individu.
Jenis-jenis
fakta sosial nonmaterial
Karena fakta sosial nonmaterial sangat penting
bagi Durkheim, maka kita mengetenggahkan pembahasan singkat empat jenis fakta
non-material di bawah ini:
a. Moralitas
Perspektif Durkheim tentang moralitas
terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta
sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia
berada di luar individu dan bersifat memaksa individu. Artinya,
moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu
yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap sebagai
sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada kesehatan moral
masyarakat modern.
Bahkan salah seorang teman Durkheim telah menulis
bahwa tidak akan bisa memahami karya Durkheim jika belum memahami fakta
moralitas karena moralitas adalah inti dan objek dari karya-karya
Durkheim. Hal ini bukan berarti Durkheim menganggap masyarakat menjadi, atau
tengah terancam bahaya tidak bermoral. Bagi Durkheim moralitas hanya bisa
diidentifikasi dengan masyarakat.
Oleh karena itu, masyarakat tidak mungkin tidak
bermoral, namun pasti bisa kehilangan kekuatan moral jika kepentingan kolektif
masyarakat hanya terdiri dari kepentingan-kepentingan individu belaka. Selama
moralitas adalh fakta sosial, maka dia akan mengalahkan kepentingan dirim ereka.
b. Kesadaran Kolektif
Kesadaran kolektif adalah seluruh
kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan
membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri. Dengan
demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa
disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular.
Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi
ini. Pertama, kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat
ketika dia menyebut keseluruhan kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua,
Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu
menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar
cerminan dari basis material. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa
terwujud melalui kesadaran-kesadaran individual.
Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum
pengertian, norma, dan kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adalah konsep
yang sangat terbuka dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk
menyatakan bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang kuat,
yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama , lebih dari masyarakat
modern.
c.
Representasi Kolektif
Karena kesadaran kolektif merupakan merupakan
sesuatu yang luas dan gagasan yang tidak memiliki bentuk yang tetap, oleh
karena itu tidak mungkin dipelajari secara langsung akan tetapi mesti didekati
melalui relasi fakta sosial material. Contoh representasi kolektif adalah
simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semuanya mempresentasikan
kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan
diri dengan klaim kolektif.
Representasi kolektif juga tidak bisa direduksi
kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi sosial, dan hanya
bisa dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol
material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik
seperti ritual.
d. Arus
Sosial
Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta
sosial yang tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim
mencontohkan dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan yang terbentuk
dalam kumpulan publik. Arus sosial kurang konkret dibanding fakta sosial
karena fakta sosial tidak bisa direduksi pada individu. Kita diseret oleh arus
sosial, dan ia memiliki kekuatan untuk memaksa kita meski kita baru bisa
menyadarinya ketika kita bergulat melawan perasaan ini. Arus sosial bisa
dilihat sebagai serangkaian makna yang disepakati dan dimiliki bersama oleh
seluruh angota kelompok. Karena itu, arus sosial tersebut tidak bisa dijelaskan
berdasarkan suatu pikiran individual tertentu.
e. Pikiran Kelompok
Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif
sebenarnya adalah kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual
tidak secara mekanis saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain.
Pikiran-pikiran individual terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran
simbol: mereka megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami mereka, mereka
menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal
baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada bandingannya di dunia
biasa
4. FAKTA SOSIAL DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP ANALISIS SOSIOLOGI
Fakta sosial bersifat eksternal, umum(general),
dan memaksa (coercion).Fakta sosial mempengaruhi tindakan-tindakan
manusia.Tindakan individu merupakan hasil proses pendefinisian realitas sosial,
serta bagaimana orang mendefinisikan situasi. Asumsi yang mendasari adalah
bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif dalam membangun dunia sosialnya
sendiri. Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan
sosiologi. Fakta sosial dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu
(Thing) yang berbeda dengan ide.
Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari
seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental
murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil
diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua
macam:
Ø Dalam
bentuk material : yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan
diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata,
contohnya arsitektur dan norma hukum.
Ø Dalam
bentuk non-material : yaitu sesuatu yang ditangkap nyata (eksternal). Fakta ini
bersifat intersubjektif yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai
contoh egoisme, altruisme, dan opini.
Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan
fakta sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yang banyak untuk
ditempuh, baik interview maupun kuisioner yang terbagi lagi menjadi berbagai
cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua metode itulah yang
hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta sosial
sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.
- Analisis naskah drama “merdeka dalam lingkaran setan” dengan
teori sosiologi Emile Dhurkheim Marx
Di dalam
naskah drama “merdeka dalam lingkaran setan” banyak sekali hal-hal yang berbau
sosial, sehingga ini akan menarik untuk dianalisis dengan teori sosiologi Emile
Dhurkheim Marx yang secara langsung membahas tentang teori sosiologi.
Ada
beberapa hal yang dibahas dalam teori sosiologi Emile Dhurkheim Marx, antara
lain.
a. Fakta sosial
Adalah setiap cara bertindak yang umumnya
terdapat dalam suatu masyarakat tertentu yang yang memiliki eksistensinya sendiri
terlepas dari manifestasi individu. Keharusan dalam mengikuti adat istiadat,
sopan santun, dan tata cara penghormatan yang lazim dilakukan sebagai seorang
anggota masyarakat merupakan suatu hubungan antar individu dengan individu lain
dalam suatu masyarakat. Berbagai tindakan individu dalam melakukan hubungan
dengan anggota masyarakat lain yang dipedomani oleh norma-norma dan adat
istiadat seseorang sehingga ia melakukan hubungan-hubungan terpola dengan
anggota masyarakat lain tersebut dinamakan fakta sosial.
Dalam naskah drama “merdeka dalam lingkaran
setan” ini terdapat banyak sekali fakta sosial. Antara lain.
-
Tata cara perlakuan para tokoh dengan lawan
mainnya. Misalnya saja perlakuan si cucu terhadap kakeknya. Si cucu sangat
menghormati kakeknya karena umur kakeknya jauh lebih tua jika dibandingkan
dirinya. Perlakuan semacam ini sudah di atur dalam norma-norma dan adat
istiadat Negara kita tentang bagaimana cara berperilaku dengan orang yang lebih
tua dari kita.
-
Emile
Dhurkheim Marx juga menyebutkan bahwa fakta sosial merupakan
salah satu konsep dari sosiologi; konsep dasar yang berhubungan dengan
keberadaan individu di masyarakat. Memahami fakta sosial dapat membantu
memberikan penjelasan mengenai latar belakang peranan agama dalam masyarakat
yang menjadi acuan norma sosial bagi individu untuk melakukan berbagai
tindakan. Dalam naskah drama “merdeka dalam lingkaran setan” ini penulis
menggambarkan dengan sangat gamblang bagaimana fakta sosial dapat
memengaruhikeberadaan individu di dalam tengah masyarakat
Ide Durkheim tenteng fakta sosial menjadikan
sosiologi sebagai ranah yang lepas dari studi filsafat ataupun psikologi dan
menjadi argumen yang paling meyakinkan untuk mempelajari masyarakat sebagaimana
adanya sebelum memutuskan apakah sesungguhnya masyarakat itu. Durkheim
mengelompokkan fakta sosial menjadi dua bagian, yaitu.
-
Dalam bentuk material, artinya mudah dipahami
karena dapat diamati, disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial yang
berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata (external world), contohnya
arsitektur dan norma hukum. Dalam naskah drama “merdeka dalam lingkaran setan”
dengan jelas terlihat fakta sosial dalam
bentuk material yaitu lemahnya norma hokum yang berada di Indonesia. Di naskah
drama ini diperlihatkan bahwa uang sudah menjadi pengaruh besar dalam kehidupan
manusia. Sehingga, secara sadar dan tidak sadar kita sudah tunduk pada materi
dan pada akhirnya materi menjadi ukuran terakhir seseorang akan dipandang lebih
tinggi dalam masyarakat.
-
Dalam bentuk non material, yaitu merupakan
fenomena yang bersifat inter subjektif yang hanya dapat muncul dari dalam
kesadaran manusia, contohnya egoisme, altruisme dan opini. Durkheim mengakui
bahwa fakta sosial nonmaterial memiliki batasan tertenti, ialah individu. Akan
tetapi Durkheim yakin bahwa ketika seseorang mulai berinteraksi secara
sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri. Menurut Durkheim,
hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi melalui manusia dan ia
juga mengatakan bahwa masyarakat bukan hanya semata-mata kumpulan individu saja
walaupun faktanya masyarakat memang terdiri dari individu-individu, namun dia
hanya bisa dipahami dengan mempelajari interaksi dan bukannya dengan
mempelajari individu. Dalam naskah drama “merdeka dalam lingkaran setan” ini
terlihat jelas bentuk egoisme dari seorang lurah yang ingin memeras si kakek
dengan cara mengancam akan membongkar rahasia si kakek pada saat jaman
peperangan dulu kepada seluruh masyarakat. Agar mendapatkan apa yang dia
inginkan, si lurah ini pun menghalalkan segala cara mulai dari memanfaatkan
keadaan si kakek yang buta huruf hingga memerkosa cucu si kakek. Dalam naskah
ini juga digambarkan bentuk altruisme dari sang kakek terhadap lingkungan
sekitar. Sang kakek dalam naskah ini merupakan mantan seorang pejuang Indonesia
yang berhasil selamat dari medan perang dan meraih kemerdekaan. Dia dulunya
pernah membunuh teman seperjuangannya sendiri. Hal ini dia lakukan bukan atas
kemauannya sendiri melainkan permintaan dari temannya sendiri. Ini membuktikan
bahwa sang kakek memiliki jiwa altruisme yang sangat besar.
Durkheim membagi lagi jenis
fakta sosial nonmaterial ke dalam beberapa bentuk yaitu.
Moralitas
Dalam naskah drama “merdeka dalam lingkaran
setan” digambarkan bagaiamana moralitas seorang pejabat pemerintahan sangatlah
bobrok. Haus akan kekuasaan dan masih takut dengan pejabat yang lebih tinggi
darinya. Untuk mendapatkan apa yang diinginkan, akhirnya segala cara ditempuh
mulai dari menipu, memeras, hingga memerkosa. Hal-hal semacam ini timbul akibat
kurangnya nilai moralitas yang berada dalam dirinya.
Durkheim mengatakan bahwa masyarakat tidak
mungkin tidak bermoral, namun pasti bisa kehilangan kekuatan moral jika
kepentingan kolektif masyarakat hanya terdiri dari kepentingan-kepentingan
individu belaka. Selama moralitas adalah fakta sosial, maka dia akan
mengalahkan kepentingan diri mereka
Kesadaran Kolektif
Dalam naskah drama “merdeka dalam lingkaran
setan” digambarkan bagaiamana kurangnya kesadalaran kolektif dari para pejabat
pemerintahan. Ini disebabkan moralitas yang sudah bobrok sehingga menyebabkan
kesadaran kolektifnya menghilang. Di dalam naskah ini digambarkan dengan jelas
bawa kesadaran dari pak lurah sangatlah tidak ada. Pak lurah tidak lagi
menghormati hak-hak orang lain karena tertutupi oleh keserakahan akan
kekuasaan. Pak lurah tidak perduli lagi akan hak asasi manusia dan pada
akhirnya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
Durkheim menggunakan konsep ini untuk menyatakan
bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu
pengertian, norma, dan kepercayaan bersama , lebih dari masyarakat modern.
Representasi Kolektif
Dalam
naskah drama “merdeka dalam lingkaran setan” digambarkan bagaimana perjuangan
sang kakek bersama dengan para pejuang yang lain untuk menumpas belada. Naskah
ini umumnya menceritakan tentang kondisi kemerdekaan indonesia yang sekarang.
Akan tetapi, dalam naskah ini juga disinggung bagaimana representasi kolektif
masyarakat terhadap perjuangan orang-orang pada saat penjajahan yang dilakukan
oleh belanda selama 350 tahun.
Arus
Sosial
Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta
sosial yang tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim
mencontohkan dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan yang terbentuk
dalam kumpulan publik. Dalam naskah drama “merdeka dalam lingkaran setan”
digambarkan dengan jelas bagaimana para tokoh menggambarkan luapan semangat,
amarah dan rasa kasihannya. Misalnya saja si kakek. Perasaan semangat si kakek
tergambar ketika ia menceritakan bagaimana dia melawan para penjajah tanpa
takut mati. Sang kakekpun meluapkan rasa marahnya ketika melihat cucunya sudah
tidak perawan lagi akibat keserakahan pak lurah yang menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan apa yang dia mau. Karena kejadian tersebut, sang kakek merasa
kasihan kepada cucunya yang tidak bersalah dan langsung mengeluarkan amarahnya
sehingga diambilnya senjata yang dulu pernah dipakainya untuk melawan belanda
dan digunakan untuk membunuh pak lurah beserta antek-anteknya yang biadab itu.
Dalam naskah tersebut para pemain diseret oleh arus sosial, dan ia memiliki
kekuatan untuk memaksa meski para pemain baru bisa menyadarinya ketika kita
bergulat melawan perasaan ini. Arus sosial bisa dilihat sebagai serangkaian
makna yang disepakati dan dimiliki bersama oleh seluruh angota kelompok. Karena
itu, arus sosial tersebut tidak bisa dijelaskan berdasarkan suatu
pikiran individual tertentu.
Pikiran Kelompok
Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif
sebenarnya adalah kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual
tidak secara mekanis saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain.
Pikiran-pikiran individual terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran
simbol: mereka megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami mereka, mereka
menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal
baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada bandingannya di dunia
biasa
Dalam
naskah drama “merdeka dalam lingkaran setan” ini diceritakan bagaimana pikiran
kelompok ini sangatlah dipengaruhi pemikiran individu. Pembuktiannya ialah pada
saat anak buah pak lurah yang datang ke rumah kakek dengan kedok memberikan
bantuan BLT kepada si kakek. Padahal isi dari surat itu ialah surat penyerahan
hak tanah milik si kakek kepada PT. BLANK PLAZA CENTER. Anak buah pak lurah
melakukan hal tersebut karena perintah dari pak lurah. Begitupun pak lurah. Dia
melakukan hal tersebut karena perintah dari atasan. Dan begitu seterusnya.
Ini membuktikan bahwa sebenarnya
pikiran kelompok berasal dari pemikiran individual akan tetapi pikiran individu
tidak saling bersinggungan secara mekanis.
- Kesimpulan dan saran
- Kesimpulan
Dari
hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa teori sosiologi Emile Dhurkheim
Marx menitik beratkan pada aspek fakta sosial. Fakta sosial merupakan
salah satu konsep dari sosiologi; konsep dasar yang berhubungan dengan
keberadaan individu di masyarakat. Memahami fakta sosial dapat membantu
memberikan penjelasan mengenai latar belakang peranan agama dalam masyarakat
yang menjadi acuan norma sosial bagi individu untuk melakukan berbagai
tindakan. Fakta sosial menurut Dhurkheim dibagi menjadi dua yaitu fakta sosial
yang berupa material dan nonmaterial. Fkata sosial yang berupa material ialah fakta
sosial yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Misalnya saja, arsitektur dan
norma hukum. Sedangkan fakta sosial yang berbentuk non material, Dhurkheim
mengelompokkannya menjadi lima bagian, yaitu moralitas, kesadaran kolektif,
representasi kolektif, arus sosial dan pikiran kelompok. Kelima hal tersebut
merupakan hal yang saling berhubungan dan berkesinambungan. Misalnya saja
kesadaran kolektif akan hilang jika tidak adanya moralitas dalam diri
masyarakat atau individu dan begitu seterusnya. Dalam novel “merdeka dalam
lingkaran setan” banyak sekali hal-hal yang berhubungan dengan teori sosiologi
Dhurkheim. Ini membuat analisis yang dilakukan lebih mudah dan sangat menarik
untuk ditelusuri. Hal-hal yang berbau fakta sosial seperti yang dikatakan
Dhurkheim, sangat digambarkan dengan jelas di dalam naskah drama ini.
-
Saran
Dari hasil analisis di atas, saran yang dapat
diberikan ialah masih banyak karya sastra yang dapat dianalisis menggunakan
teori Dhurkheim ini, sehingga disarankan agar teroi ini digunakan untuk
menganalisis karya sastra yang lain yang masih berkaitan dengan teori ini. Dan
juga mengingat kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki oleh saya sebagai
penganalisis, maka diharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki analisis
selanjutnya.
- Daftar pustaka
Faruk . 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.