Wednesday, April 15, 2015

bulan bahasa dan sastra



Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki keragaman etnik dan budaya. Salah satu di antaranya adalah keragaman bahasa dan sastra. Keragaman bahasa dan sastra di Indonesia menjadi kekayaan yang tidak ternilai harganya. Peta Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (2008) telah mengidentifikasi 442 bahasa daerah di Indonesia. Bertolak dari keragaman itu, bangsa Indonesia menjadi lebih paham akan arti persatuan. Meskipun beragam latar bahasanya, bangsa Indonesia terhubung melalui bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Meskipun penggunaan bahasa Indonesia cenderung tergusur oleh pemakaian bahasa asing, bahasa Indonesia masih tetap memegang fungsinya sebagai sarana komunikasi yang menyatukan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pengutamaan bahasa Indonesia sebagai identitas nasional bukan hanya tugas Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB), melainkan  juga tugas seluruh rakyat Indonesia. Kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan setiap tahun adalah upaya BPPB untuk membina dan mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia, serta bertekad memelihara semangat dan meningkatkan peran serta masyarakat luas dalam menangani masalah bahasa dan sastra itu.
Kegiatan yang dilaksanakan dalam acara Bulan Bahasa dan Sastra terdiri dari beberapa kegiatan. Ada kegiatan yang diadakan sebagai ajang berkarya atau berekspresi, ada kegiatan yang diadakan sebagai ajang peningkatan kualitas berbahasa Indonesia, dan ada kegiatan yang diadakan sebagai ajang perlombaan.
Bulan Bahasa dan Sastra melibatkan masyarakat luas, tidak hanya siswa, mahasiswa, guru, dan dosen, tetapi juga orang asing yang berada di luar negeri (lomba keterampilan berbahasa Indonesia bagi peserta BIPA).

sumber ;http://badanbahasa.kemdikbud.go.id

“Bagaimana menjadikan pendidikan bahasa (dan sastra) sebagai sesuatu yang penting?”


Pendahuluan
“Bagaimana menjadikan pendidikan  bahasa (dan sastra) sebagai sesuatu yang penting?” Pertanyaan semacam ini teramat sangat substansial ketika pendidikan bahasa (dan sastra) ingin dihargai.  Bukankah pendidikan bahasa (dan sastra), baik langsung maupun tidak langsung, adalah sarana untuk memperkukuh jati diri bangsa Indonesia? Potensi kekayaan batiniah yang akan memberi peluang bagi masyarakat Indonesia untuk menjadi warga dunia yang terhormat?
     Harapan “yang sangat besar” telah dibebankan kepada pendidikan bahasa (dan sastra) untuk berperan mencapai tujuan pendidikan yang lebih luas. Harapan itu tentunya dilatarbelakangi pemikiran bahwa teks sastra memuat banyak aspek kehidupan dengan seluruh fenomenanya. Termasuk cara mengidentifikasi diri dan pilihan sudut padang untuk menyikapi kenyataan-kenyataan spiritual dan sosial masyarakat Indonesia dewasa ini. 
     Walaupun telah sering dibicarakan dalam forum seminar, lokakarya, pertemuan ilmiah, saran-saran pada laporan penelitian, tulisan di media massa, dan lain-lain, pendidikan bahasa (dan sastra) tetap saja kurang diperhatikan karena dianggap kurang penting. Rupanya, kita harus mendudukkan kembali pendidikan bahasa (dan sastra) sebagai sesuatu yang relevan dalam konteks pendidikan nasional pada era kompetisi global saat ini, yaitu sebagai sarana membangun insan Indonesia yang cerdas dan komprehensif!  Caranya? Temukan ide-ide terbaik dalam pendidikan bahasa (dan sastra) yang telah teruji dan kaitkan hal itu dengan kebutuhan nyata kita.
     Pendidikan bahasa (dan sastra) memang tidak cukup hanya mengandalkan  segi-segi taktis, seperti adanya perubahan pengajaran atau pengembangan kurikulum. Perbaikan itu harus disertai pengembangan sumber daya guru dan pemerkaayaan khasanah bacaan/buku bahasa (dan sastra). Namun, hal mendasar untuk mendayagunakan pendidikan yang sebenarnya dari segi strategis-pragmatis adalah masalah bagaimana mengajarkan keterampilan berbahasa dan mendayagunakan teks bahasa dan sastra  bukan apa yang dilakukan dengan struktur bahasa dan teks sastra itu!! 
     Pendidikan bahasa (dan sastra) memang bukan sekadar mengajarkan struktur bahasa atau cerita, permainan bahasa, atau memberikan pengetahuan tentang pola kalimat atau jenis-jenis sastra, angka tahun, serta nama-nama untuk dihapalkan. Sebab, bahasa (dan sastra) bukan hanya tulisan dan lembaran-lembaran kertas.  Bahasa dan teks sastra sebagai “sumber” pendidikan harus dilihat sebagai bentuk nyata penggunaan bahasa yang potensial.  Sungguh sayang jika berbagai aspek kehidupan yang bisa digali dalam pemakaian bahasa dan karya sastra hanya dijadikan bahan hapalan!
Pendidikan Bahasa (dan Sastra) yang Komprehensif
Taufik Ismail pernah berpuisi: Bercakap sudah, mengukur sudah/Ayo kita menari sekarang/Menguap sudah, tidur sudah/ Ayo kita berlari sekarang// Dulu kita bertemu di abad dua puluh/Tak disangka-sangka, di abad 21 masih bertemu lagi/Memajukan sastra memang payah berpeluh-peluh/Jangan putus asa, kita satu barisan ….. Ya, benar! Untuk mencapai kemajuan di bidang pendidikan bahasa (dan sastra), kita membutuhkan langkah-langkah konkret, cepat, dan satu sama lain harus saling berkait­an. 
Sembilan langkah berikut, insya Allah, dapat kita lakukan.  Yang penting, pilih yang paling buat anak didik, pacu laju…….
  1. Definisikan ulang materi bahasa (dan sastra) yang harus diajarkan di sekolah.  Banyak mazhab yang berbicara tentang kurikulum mengenai apa yang seharusnya diberikan pada peserta didik, namun yang terpenting kita dapat memadukan teori-teori terbaik dari sistem-sistem yang telah terbukti berhasil.  Misalnya, teori-teori struktural dalam lingusitik dan strukturalisme sastra yang masih dominan di sekolah-sekolah dipadukan dengan teori psikolinguistik dan psikologi sastra, sosiolinguistik dan sosiologi sastra, atau antropolinguistik dan resepsi sastra, dll.
  2. Polakan kurikulum dalam empat bagian, dengan penilaian diri dan pelatihan ketrampilan hidup sebagai komponen kunci—yang menekankan: (a) citra diri dan perkembangan pribadi, (b) pelatihan keterampilan hidup, (c) belajar tentang cara belajar dan berpikir, dan (d) kemampuan-kemampuan akademik-intelektual dan artistik yang spesifik. Setiap aspek tersebut dapat disatupadukan untuk saling mendukung dan melengkapi pendidikan sastra.
  3. Terapkan tiga tujuan untuk sebagian besar pembelajaran dan pengajaran bahasa (dan sastra), yaitu (a) mempelajari keterampilan dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran bahasa (dan sastra) yang spesifik, (b) mengembangkan kemampuan konseptual umum—mampu belajar menerapkan konsep bahasa (dan sastra) dengan bidang-bidang lain, dan (c) mengembangkan kemampuan apresiasi dan sikap pribadi yang apresiatif yang secara mudah dapat digunakan dalam segala tindakan nyata.
  4. Definisikan ulang tempat-tempat terbaik untuk pengajaran—bukan hanya di sekolah atau ruang kelas.  Ajaklah peserta didik menampilkan drama singkat di luar ruang kelas atau ajaklah mereka berdiskusi, berdebat, bermain peran, atau menonton pembacaan puisi dan mendiskusikannya.
  5. Agendakan dalam pembelajaran bahasa (dan sastra) di kelas: belajar sastra sama dengan belajar tentang cara belajar dan cara berpikir.  Yang pertama berarti mempelajari cara membaca, cara memori menangkap informasi kesastraan, cara kita menyimpan informasi, mengambilnya, menghubungkannya dengan konsep lain (misal, tokoh ini bernama dan berwatak begini dan mengapa dia begitu, lalu refleksikan dengan kehidupan peserta didik), dan mencari pengetahuan baru, kapan pun peserta didik memerlukannya dengan cepat.
  6. Temukan gaya belajar dan kecerdasan individu, dan layani setiap gaya yang ada.  Kita semua tahu bahwa sebagian orang belajar lebih baik dengan suatu cara, sebagian yang lain dengan cara yang lain pula.  Sebagaimana orang suka belajar sambil duduk di kursi, sedang yang lain sambil berbaring di kasur atau lantai.  Namun, setiap orang mempunyai tipe kecerdasan tidak hanya satu dan setiap orang memiliki gaya belajar yang unik, sama uniknya dengan sidik jari.  Seorang yang cenderung lebih menyukai matematika tidak mustahil dia pun mampu menulis puisi. Mungkin tidak di kelas, tetapi lihat catatan hariannya!
  7. Pelajari komputer dan internet.  Bagi abad ke-21, komputer dan internet adalah seperti halnya telepon bagi abad ke-20.  Bahkan lebih dahsyat lagi.  Seperti halnya tak ada orang yang mampu bertahan di dunia ekonomi modern tanpa telepon, tak ada orang yang kini dapat bertahan tanpa mengenal komputer  dan internet.  Hellen J. Schwartz (1989: 1) dalam Literacy Theory in the Classroom: Computers in Literature and Writing pernah mengatakan bahwa penggunaan komputer dan internet tidak saja untuk ilmu-ilmu eksakta, sastra pun bisa menggunakan media ini terutama untuk membantu pembelajaran menulis karya sastra dan pemerkayaan kosa kata peserta didik. Untuk mewujudkan ini, kita tidak harus menjadi negara besar. Yang paling  menentukan adalah pemerintahan yang bervisi ke depan, yang menyadari bahwa pendidikan adalah investasi utama suatu bangsa. Singapura mengalokasikan dana $ 1.5 miliar untuk mendistribusikan teknologi informasi mutakhir ke seluruh sekolah dan rumah. Pada tahun 1999 setiap sekolah menerima sedikitnya satu komputer untuk setiap dua siswa. Mereka memiliki akses Internet secara gratis-untuk berhubungan dengan 150 juta orang yang telah mempelajari Internet.  PM. Goh Chok Tong mencanangkan visi “Sekolah Berpikir Negara Belajar” sebagai tujuan abad ke-21.  Anggaran total teknologi informasi selama lima tahun sebesar $ 2,5 juta per sekolah.
  8. Posisikan kembali peran pendidikan sastra di dunia pendidikan kita karena kita hidup di era komunikasi digital ketika setiap orang dapat berkomunikasi dengan siapa saja.   Teknologi gabungan internet-komputer-World Wide Web telah membentuk generasi baru—lebih dahsyat dibandingkan revolusi yang dipicu oleh temuan percetakan, radio, mobil, dan televisi.  Bangsa yang benar-benar memanfaatkan ledakan komunikasi digital, dan menghubungkannya dengan teknik-teknik pembelajaran baru niscaya akan memimpin dunia di bidang pendidikan.
  9. Bukalah pikiran dan ciptakan komunikasi yang segar.  Semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan sastra agar selalu membuka pikiran dan mengomunikasikan capaian-capaian penelitian secara faktual, jujur dan jelas. Masa depan jutaan anak telah dirusak oleh penyebaran teori-teori pendidikan yang telah terbukti kesalahannya.
Untuk akselerasi tujuan di atas, pendidikan bahasa (dan sastra) memerlukan  komponen-komponen pembelajaran dan bahan-bahan ajar yang unggul,  termasuk di dalamnya subkomponen alokasi waktu dan metode pembelajaran. Hal ini berarti bahwa pendidikan (dan sastra)  dapat dimaksimalkan untuk perkembangan individual pembelajar, menciptakan suasana menyenangkan, penyediaan akses pemerolehan pengalaman baru dan berbeda, merangsang kepekaan perasaan dan proses berpikir, keinginan, serta kreativitas peserta didik.

     Peran Pembelajaran Bahasa (dan Sastra) sebagai Sarana Mengembangkan Kecerdasan dan Keterampilan Hidup
     Bagaimanapun rumusan dan pengertian para ahli tentang bahasa dan sastra, bahasa tetap merupakan medium bagi kehidupan kitan dan bagi penciptaan karya sastra yang tidak dapat diabaikan. 
     Pembelajaran bahasa (dan sastra) yang baik dapat melahirkan peserta didik yang terampil menggunakan bahasa secara baik. Pembelajaran bahasa (dan sastra)  yang baik dapat menghadirkan pengalaman estetik dan mengembangkan kemampuan bahasa peserta didik, sekaligus mendorong siswa untuk gemar membaca.  Banyak penelitian yang membuktikan bahwa peserta didik yang kemampuan bahasanya tinggi adalah mereka yang banyak membaca.  Ada hubungan yang erat antara kebiasaan membaca dengan peningkatan kecerdasan bahasa.
     Lalu, dapatkah pembelajaran bahasa (dan sastra)  yang baik mengembangkan kecerdasan sosial (interpersonal) dan kecerdasan  kepribadian (intrapersonal) peserta didik?  Kita ambil contoh pembelajaran sastra di sekolah. Selain perannya sebagai sarana pengembangan kecerdasan bahasa, sastra sangat potensial untuk pengembangan kecerdasan sosial peserta didik.  Aneka ragam pengalaman yang dihadirkan pengarang dapat membantu peserta didik mengembangkan kemampuan memahami tingkah laku manusia. Dengan dasar kecerdasan bahasa dan kemampuan memahami tingkah laku ini, mereka dapat mengembangkan relasi dengan insan yang sebaya atau dengan yang lebih tua.  Kemampuan membangun relasi dengan orang lain ini sangat menentukan keberhasilan hidupnya kelak dalam masyarakat. Peserta didik yang cerdas secara sosial adalah mereka yang mampu memahami dan merespon watak, temperamen, motivasi, manajemen konflik, dan kecenderungan orang lain.
     Adapun peserta didik yang mempunyai kecerdasan intrapersonal adalah mereka yang mempunyai kemampuan memahami kehidupan emosional, membedakan emosi orang-orang, pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri.  Pengembangan “daya rasa dan pikir” yang tersirat dalam penceritaan dengan imajinasi sebagai wilayahnya yang senantiasa terus bergerak membantu perenungan tentang yang ada dalam “diri” ini.  Jika selama ini kita banyak diajari hal-hal yang berkaitan dengan fakta, sastra justru menawarkan hal lain,  yaitu mengasah rasa, pikiran, dan imajinasi personalitas.
     Pembelajaran bahasa (dan sastra)  dapat dijadikan sebagai sarana mengajarkan keterampilan hidup jika prosesnya tidak hanya terbatas kecakapan teoritis saja, tetapi juga kecakapan sosial, intelektual, dan akademik sehingga diharapkan mampu menjawab tantangan dan kebekuan proses pendidikan yang selama ini hanya teks book thinking  semata.  Paulo Freire (1993), yang menawarkan gagasan pembaruan pendidikan, menyebutkan bahwa sistem pendidikan sekarang hanya “the banking concept of education”. Guru yang mengajar dianggap mengetahui segala-galanya dan murid yang diajar dianggap tidak tahu apa-apa. Posisi seorang murid hanya sebagai alat penerima ilmu dari seorang guru.  Jikapun ada acuan baru, produk baru, buku baru, aturan baru, proses dan cara penyajiannya tetap saja memakai model lama. 
     Pembelajaran bahasa (dan sastra)  diharapkan tidak hanya sekadar memahami konsep dan prinsip keilmuan semata, tetapi juga harus berbuat dan menerapkan hasil dari pendidikan keterampilan berbahasa dan apresiasi sastranya.  Apabila proses pendidikan bahasa (dan sastra)  yang diberikan kepada peserta didik dilandasi pada kebutuhan mereka secara konkret, kondisi pendidikan sastra secara bertahap bisa diperbaiki dan tidak akan menyebabkan pengajaran dan pembelajaran  yang   semula    berlangsung  membosankan, monoton, dan tidak menarik bagi peserta didik akan berubah menjadi proses pendidikan yang menyenangkan.
     Konsep yang ditawarkan Kementerian Pendidikan Nasional tentang keterampilan hidup (life skill) sebenarnya sudah lama menjadi angan-angan praktisi pendidikan dengan harapan mampu membentuk perubahan pola pikir, yaitu suatu inovasi pembelajaran yang dapat membantu peserta didik memahami teori secara mendalam melalui pengalaman belajar praktik-empirik. Peserta didik di bawa dalam suasana pembelajaran untuk membangun jati diri (learning to be) dan pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis (learning to live together).  Model pembelajaran ini pun dapat menjadi program pendidikan yang mendorong kompetensi, tanggung jawab, dan partisipasi peserta didik, belajar menilai dan mempengaruhi kebijakan umum, memberanikan diri untuk berperan serta dalam kegiatan antarpeserta-didik, antarsekolah, dan antar-anggota masyarakat.
     Keterampilan hidup (life skill) dapat diartikan sebagai pembelajaran dan pemberian bekal tambahan kepada peserta didik berupa keterampilan-keterampilan yang berguna untuk membentuk kecakapan hidup.  Program dari Depdiknas ini (dengan konsep life skill) merupakan hasil nyata yang disadur dari pilar pembelajaran UNESCO, yaitu learning to be (pembelajaran untuk membangun jati diri) dan learning to live together (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis), di samping dua konsep lainnya, yaitu learning to know (pembelajaran untuk menambah pengetahuan) dan learning to do (pembelajaran untuk mampu mempraktikan apa yang dipelajari).
     Dengan membawa konsep keterampilan hidup dalam pembelajaran bahasa (dan sastra), secara langsung maupun tak langsung, akan memunculkan daya kritis peserta didik. Kehadiran ujian nasional (UN) di tengah wacana ini merupakan salah satu urgensi yang penting.  Dalam keadaan demikian, akan lahir daya kreatif dan proses pemecahan masalah bagi para peserta didik dalam kehidupan nyata dan bisa disikapi dengan baik.  Membawa keterampilan bahasa dan karya sastra dengan konteks masalah dan fakta kehidupan yang ada di seputar kehidupan peserta didik dibutuhkan inovasi yang dilakukan guru, termasuk inovasi-inovasi dalam pengujiannya. Inilah makna kompetensi dalam pembalajaran bahasa (dan sastra), yaitu menumbuhkan keyakinan untuk mampu melakukan sesuatu, yaitu melibatkan peserta didik untuk mengambil bagian dalam program keterampilan hidup (lifeskill). 
     Kita bisa mengambil contoh penerapan life skill dalam pelajaran ekonomi yang pernah dipraktekkan. Sebagai misal, dipraktekkan di Alaska, para pelajar SMU Mt. Edgecumbe menjalankan empat perusahaan proyek percontohan. Salah satu proyeknya adalah ekspor salmon asap ke Jepang senilai $600.000. Mereka sekaligus belajar ilmu pemasaran, bisnis, dan bahasa Jepang.  Di sini, para pelajar tidak lagi menjadi objek semata, tetapi berperan sebagai subjek dalam proses belajar.

Daftar Pustaka
DePorter, Bobbi, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie.  2000. Quantum Teaching.  Bandung: Kaifa.
DePorter, Bobbi  dan Mike Hernacki. 2000. Quantum Learning. Bandung: Kaifa
Dryden, Gordon dan Jeannette Vos.  2000. Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolution) I—2.  Bandung: Kaifa.
Goodman, Ken.  1986.  What’s Whole in Whole Language?  Ontario:Scholastic.
Orstein, Alan C. dan Daniel U. Levine.  1985.  An Introduction to the Foundation of Education.  Boston: Houghton Mifflin Company.
              Purwo, Bambang Kaswanti (Ed). 1991.  Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa:
              Pembaharuan    Pengajaran.  Yogyakarta: Kanisius.

Tuesday, April 14, 2015

mengkaji pusisi W.S Rendra-Orang-orang Miskin

mengkaji pusisi W.S Rendra-Orang-orang Miskin
oleh :kem andrian


Orang-orang Miskin
Pengarang: W.S Rendra
Orang-orang miskin di jalan, 


yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
















1.      Judul
Puisi karya Ws. Rendra yang berjudul Orang-Orang Miskin adalah sebuah gambaran tentang potret kehidupan  sosial orang-orang miskin yang kelaparan.
Dari judul tersebut dapat diketahui permasalahan yang hendak yang akan dituliskan oleh penyair. Permasalahan yang dibicarakan ialah ketidak adilan dinegeri yang dikatakan negeri hokum serta kebohongan pemimpin dalam memimpin rakyat kecil yang banyak dijumpai kelaparan dan kemiskinan dimana-mana. Melalui inipenyair mencoba memberi tahukan semua orang bahwa apa yang diinginkan pemerintahmelalui program-program mengarah kepada masyarakat kecil hanya sebuah kepalsuan belaka.
2.      Diksi
Diksi yang merupakan unsur kunci pada puisi diatas ialah Orang-Orang Miskin. Kata Orang-Orang Miskin berarti orang-orang yang tidak mempunyai harta benda yang hidupnya luntang-lantung dijalanan.
Diksi yang mengiringi katakunci tersebut adalah di jalan. Kata di jalan bermakna tempt tinggal mereka, tempat hidup dan tempat mereka mengais rizki. Kata dijalan ini berhimpitan dengan kata didalam selokan, kalah di dalam pergulatan,
diledek oleh impian. Ini menegaskan bahwa mereka hidup di tempat yang tidak layak, tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah, jauh dari segala fasilitas layak yang biasanya dinikmati oleh orang orang kelas menengah ke atas. Sehingga tidak ada lagi keinginan mereka untuk bermimpi menjadi orang sukses. Bahkan mereka hanya mampu menganga melihat keadaan di sekitarnya tanpa mampu lagi berbuat apa apa.
3.      Imaji
Puisi di atas menggunakan imaji visual dan imaji auditif yang dipadukan oleh penulis dengan sangat indah sehingga menggugah hati para pembaca. Hal ini dibuktikan dalam kutipan puisi tersebut, yaitu
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Pada larik yang berbunyi Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan
. Pembaca seolah merasakan adanya bayangan dari orang orang miskin tersebut memburu dan membuntuti. Pembaca juga dapat membayangkan seandainya posisi pembaca sebagai seorang pengemis ataupun pemerintah. Dari sisi pengemis, pembaca dapat membayangkan bagaimana posisi seorang peminta minta yang sering muncul di jalanan dalam keadaan kotor, kumal dan dekil. Dari segi pemerintah, jelas sekali tergambar bahwa kehidupannya tidak akan tenang karena diburu dan dihantui rasa bersalah karena telah mengacuhkan hak hak orang yang tidak mampu.
Dari kutipan di atas pembaca juga dihadapkan pada imaji auditif, yaitu pada larik  dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Seolah – olah pembaca membayangkan ketika berada pada posisi tersebut, suara – suara akan terdengar sama. Tidak ada lagi perbedaan dari keseluruhan suara yang kita dengar. Sehingga, pembaca seolah merasa menjadi seorang yang menderita gangguan pendengaran.
4.      Majas
Majas yang digunakan dalam puisi di atas ialah majas personifikasi dan hiperbola. Halini dibuktikan oleh beberapa larik dari puisi tersebut, yakni
-          yang diledek oleh impian (personifikasi). Pada larik ini, impian digambarkan sebagai benda hidup sehingga mampu meledek atau mengejek kehidupan orang orang miskin tersebut.
-          Rambut mereka melekat di bulan purnama(hiperbola). Pada larik ini, hal yang sangat tidak mungkin terjadi dan digambarkan secara berlebih lebihan ialah melekatnya rambut pada cakrawala.
5.      Bunyi (suara), Rima dan Ritme
Sebagian besar puisi di atas berakhir dengan bunyi  /a/ dan /n/.  bunyi  tersebut bermaksud untuk memberikan efek penegasan terhadap realita sosial yang terjadi di negeri kita ini. Banyak sekali hal – hal yang jarang diperhatikan oleh pemerintah kita. Bahkan hal – hal sepele pun tak jarang diacuhkan oleh mereka.
Ritme puisi ini yang berupa pengulangan bunyi yang terus menerus dan tertata rapi ini seperti alunan music yang kelihatan indah dan merdu untuk didengar oleh pedengar. Penataan bunyi ini bertujuan agar pembaca tidak jenuh dan mendapat kenyamanan ketika membaca puisi tersebut.
6.      Tema
Puisi di atas menggambarkan kehidupan orang – orang pinggiran yang jauh dari berkecukupan. Karena ketidakmampuannya, mereka hanya mampu meminta minta dan tidak dapat berbuat banyak sehingga mereka tidak bisa lagi menyuarakan keinginannya. Melihat hal ini, pemerintah kita bukannya menanggulangi, malah mereka asyik dengan kehidupan mereka sendiri. Yang pemerintah mampu berikan hanyalah janji janji yang kemudian busuk di tong sampah.

Unsur ekstrinsik puisi
1.      Aspek historis
Aspek historis yang mengilhami puisi di atas ialah peritiwa ketidakadilan yang terjadi pada orang orang pinggiran. Ketika mereka sedang mengorek2 tong sampah untuk mencari sesuap nasi, pemerintah kita malah sedang asyik makan dengan keluarganya di atas meja besar denga lauk pauk yang berbagai rupa. Mereka tidur di tempat yang empuk sedangkan rakyatnya hanya bisa tidur beralaskan kardus bahkan mereka tidur di tempat tempat yang tidak layak huni oleh manusia.
2.      Aspek psikologis
Pada puisi di atas, penyair sangat mengerti sekali bagaimana posisi dan kondisi (psikologis) orang orang pinggiran yang tidak diperhatikan oleh pemerintah. Orang orang pinggiran yang tertindas akibat acuhnya orang orang yang sserakah akan jabatan. Mereka hanya perduli dengan nasib mereka sendiri tanpa memikirkan kehidupan orang orang yang berada di bawahnya. Dan naasnya, orang orang pinggiran ini hanya bisa tertipu dengan janji jani busuk yang dilontarkan oleh mulut mulut kotor tak bertanggungjawab.

Tinjauan dari sudut literasi kritis
1.      Hasil analisis
Dari unsur intrinsic dan ekstrinsiknya, secara gamblang pembaca dapat melihat pemikiran yang secara transparan tentang penindasan dan jeritan ketidakadilan.
Berdasarkan judulnya, kita sudah bisa menebak permasalahan yang hendak disuarakan oleh penyair. Permasalahan itu  tidak lain ilah masalah peindasan kaum miskin oleh pemerintah.
Pernyataan di atas diperkuat oleh bait puisi tersebut, yaitu
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya
.
2.      Kesimpulan
Kekuasaan dapat diibarakan pisau bermata dua. Mata yang pertama, menuntun seseorang untuk menjadi orang yang bertanggungjawab dan dapat berlaku adil terhadapnya.mata yang lain, menuntun kepada jalan yang salah. Membutakan hati nurani pemiliknya sehingga ia berbuat semaunya tanpamemperdulikan sekitarnya.
3.      Ketidakberdayaan
Hal ini disebabkan karena situasi. Orang orang miskin yang notabenenya merupakan orang yang tak mampu akan cenderung pasif. Mereka sadar akan posisinya di kehidupan sosial. Sehingga, mereka lebih memilih bungkam dan enggan untuk bertindak. Karena mereka sadar akan ketidakmampuannya melawan kekuasaan.

Entri Populer